Menilik Kinerja BEM KM Poltekba di Setengah Periode Antara Janji, Fungsi, dan Realisasi.
Acara SILET (sidang pleno setengan periode), Politeknik Negeri Balikpapan , Digelar (13/7) diselenggarakan MPM Poltekba.
Politeknik Negeri Balikpapan, UKM Komic--Waktu terus berjalan. Setengah periode kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Politeknik Negeri Balikpapan di bawah Kabinet Kreatif kini telah berlalu. Seiring berjalannya waktu, muncul berbagai suara dari mahasiswa yang mulai mempertanyakan: sejauh mana BEM benar-benar menjalankan amanah sebagai representasi mahasiswa?
BEM bukan
hanya sekadar organisasi internal kampus. Dalam konteks yang lebih luas, BEM
adalah institusi politik mahasiswa yang bertugas mengadvokasi kepentingan
kolektif, menyuarakan keresahan sosial, dan menciptakan ruang kolaboratif yang
mencerahkan. Mahasiswa
adalah agent of change dan BEM, seharusnya, menjadi garda terdepannya. Namun
bagaimana kenyataan yang terjadi hari ini?
Dari kacamata struktural organisasi, banyak kritik tajam yang muncul mengenai lemahnya performa internal BEM. Hal ini disampaikan langsung oleh Bang Rifan, selaku anggota Advokasi MPM Poltekba. Ia menyoroti dua kementerian yang dianggap sebagai pusat kendali penting dalam BEM, yaitu Kementerian Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (KPSDM) dan Hubungan Luar (HUBLU).
“Peran
keduanya seolah mandek. Hingga setengah periode berjalan, tidak terlihat
strategi atau output konkret yang bisa menjadi kebanggaan organisasi,”
jelasnya.
Ketiadaan
program kerja yang berdampak, serta minimnya jejaring eksternal membuat kinerja
BEM terlihat stagnan dan tidak progresif. Padahal dua kementerian tersebut
menjadi tumpuan dalam memperkuat fondasi dan arah gerak organisasi mahasiswa
secara keseluruhan.
Lebih
dalam lagi, evaluasi menyasar pada hilangnya esensi mahasiswa dalam gerak
langkah BEM. Bang
Azzan, salah satu mahasiswa yang aktif bersuara, menyampaikan kegelisahannya
terhadap BEM KM yang dianggap tak lebih dari event organizer kampus.
“Program
kerja yang dijalankan terlihat lebih ke arah seremonial dan hiburan semata.
Tidak ada upaya mencerdaskan mahasiswa terhadap situasi sosial dan isu-isu yang
sedang berkembang di sekitar,” ujarnya.
Ia mencontohkan tidak adanya forum diskusi untuk membahas banjir di Kota
Balikpapan isu yang sangat dekat dan relevan, terutama dengan adanya Jurusan
Teknik Sipil di Poltekba. Potensi kolaboratif antar-jurusan yang seharusnya
bisa menjadi solusi atas berbagai polemik kota, justru tidak dimanfaatkan sama
sekali.
BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Politeknik Negeri Balikpapan
Lebih
lanjut, Azzan mempertanyakan urgensi BEM hari ini. "Apakah mereka memahami apa
itu mahasiswa? Apakah mereka sadar bahwa diamnya mahasiswa terhadap
ketidakadilan adalah bentuk kegagalan institusional?"
Ketika
masyarakat Kalimantan Timur dan Indonesia secara umum dilanda berbagai
keresahan—mulai dari krisis energi, polemik kebijakan nasional, hingga kondisi
sosial yang memprihatinkan—tidak tampak inisiatif nyata dari BEM KM Poltekba
untuk mengambil sikap.
Bang Rifan
bahkan menyebut BEM "buta tuli" terhadap isu publik. Dalam peristiwa
aksi Indonesia Gelap Jilid 1 dan 2, BEM hanya hadir secara simbolik dan bahkan
tidak tampil dalam aksi utama. Begitu pula dalam polemik langkanya BBM dan
isu-isu nasional seperti RUU TNI, tidak ada suara, pernyataan sikap, maupun
bentuk edukasi ke mahasiswa.
Disamping
itu pernyataan Wakil Presiden Mahasiswa dalam forum evaluasi SILET bahwa
"kami ini kampus vokasi, jadi fokus kami bukan isu sosial, tapi
kerja" menjadi semacam pukulan telak bagi wajah gerakan mahasiswa
Poltekba. Apakah alasan vokasi menjadi pembenaran untuk apatis? Bukankah
mahasiswa vokasi atau akademik tetap memiliki peran sosial yang tidak bisa
diabaikan?
Sisi lain
dari evaluasi datang dari perwakilan ormawa. Bang Angga, Ketua HMJ Pariwisata,
menyampaikan kekecewaannya karena minimnya komunikasi dan kolaborasi antara BEM
dengan organisasi mahasiswa lain
“Mereka
terlalu sibuk dengan urusan internal. Kita, ormawa, jarang dilibatkan dalam
percakapan strategis. Tapi belakangan ini mulai ada pembenahan, misalnya dalam
diskusi PKKMB,” jelasnya dengan nada optimis namun tetap kritis.
Hal serupa
juga disampaikan oleh Bang Reza, selaku Ketua umum HMJ Mesin. Menurutnya, BEM
perlu lebih aktif menyambangi ormawa, melakukan silaturahmi, dan mencari tahu
problem internal yang bisa disinergikan. Ia juga berharap forum diskusi
mahasiswa dapat lebih dihidupkan, agar mahasiswa tidak hanya sibuk dengan tugas,
tapi juga belajar berpikir kritis dan kolektif.
terlihat
bahwa masalah utama BEM KM Poltekba ada pada pemahaman peran dan orientasi
gerak. Ketika mahasiswa hanya dipandang sebagai “peserta didik untuk kerja”,
maka wajar jika gerakannya minim. Tapi ketika mahasiswa dipahami sebagai insan
intelektual yang punya tanggung jawab sosial, maka organisasi seperti BEM
semestinya menjadi wadah perubahan, bukan sekadar panitia kegiatan.
Kabinet KREATIF
Setengah jalan telah dilalui, dan masih ada setengahnya lagi untuk diperbaiki. Momentum ini harus dijadikan cermin bagi BEM KM Poltekba untuk mengevaluasi dengan jujur: apakah mereka hanya menjalankan roda organisasi secara administratif, atau benar-benar hadir sebagai representasi nalar kritis dan moralitas kampus?
Apapun
jawabannya, satu hal yang pasti: mahasiswa membutuhkan BEM yang berpihak,
bergerak, dan berani bersuara.
Karena
ketika mahasiswa diam, maka perubahan hanya akan menjadi wacana. Dan ketika BEM
bungkam, maka kampus hanya akan menjadi tempat sunyi yang kehilangan akal
sehatnya.
Komentar
Posting Komentar